Banyoe Biroe

Monday, January 30, 2012

I'm not trying to be alay by writing this post title with 'oe' for substituting the letter 'u'. Big no.
Last week, when kong hu cu people celebrated imlek my friends and I went to Rawa Pening which is located in Banyubiru, Semarang. I really like name Banyubiru, it's so "jawa banget" for me. And I think by substituting letter 'u' with old Indonesian spelling 'oe' will make it more awesome.
:3
Absurd? hahahaha.

Rawa pening is not a rawa that can make you pening or dizzy. If you still conclude that theory, trust me it's wrong. :p
Pening here means Bening, or clear in English.
For me Rawa pening is a perfect place for pacaran hanging out with some friends. Don't forget to rent a boat, because the view from the middle of that lake and between bunches of eceng gondok is quite amazing.

Rawa pening where Baru Klinting lies..
Talking about Rawa pening, talking about the legend behind that place. Have you heard about Baru Klinting snake? Have you read the story?
It's very "sayang banget" if you never read that story... *pukpuk*
Lemme tell you. So, Baru Klinting is an incarnation of a sacred kid who is cursed and got severe skin disease.
What? The whole story? *mikir* Hehe.
Just click the link HERE and enjoy reading!


Eceng gondok, largest income for Rawa pening people

So sorry, I just can upload two photos for this post. The connection becomes suck since it is raining in Semarang.
Well, happy reading the legend fellas. Stay proud being Indonesian!

xoxo. Zia

Dream-head

Thursday, January 5, 2012

Aku ini adalah seorang pemimpi yang terkadang lupa untuk bangun.
*sigh*




I wish i could reach the sky




Jadinya cinta atau ga nih?

Tuesday, January 3, 2012

Assalamualaikum..


Sore hari ini aku melihat tayangan televisi yang luar biasa bikin aku gemes. Bukan, tayangan itu bukan tentang boneka Teddy Bear yang lucu-lucu kok. Gemes yang aku rasakan beda, bukan gemas ingin mencubit sambil bilang "iiih, lucu banget si kamuuuu." tapi ini sejenis gemes yang membuat aku ingin mengambil gada lalu memukul-mukulkannya tanpa ampun.
Well, in javanese we can call this feeling BONGKO.

Kenapa aku bongko?

Let me tell you.

Jadi, sore ini sambil makan malam aku menonton salah satu tayangan di Trans 7. Aku lupa nama acaranya, karena terlalu fokus pada ayam goreng buatan ayahku. Tayangan ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat Pulau Penpim or Pempin? *I forgot it, sorry*-Batam di Prov. Riau. Kehidupan mereka sederhana, walaupun secara geografis pulau ini merupakan pulau yang paling dekat dengan Singapura. Bisa bayangkan kan, kemewahan negara tetangga kita itu? Pokoknya keadaan masyarakat Pulau tersebut yang notabene adalah saudara kita sebangsa dengan para WNA Singapura berbeda. Sangat berbanding terbalik, seperti antonim: Gelap X Terang.

And, it's true. Because, THERE IS NO ELECTRICITY in that island.

Hari gini? 2012? Belum ada listrik. Woy, yang merasa "punya" listrik pada kemana nih??

Ketidak-eksisan listrik bukanlah satu faktor yang membuat aku bongko sebenarnya. Karena aku juga pernah dengar dan melihat beberapa desa di negara kita yang juga baru-baru saja kebagian listrik dan bahkan belum mendapatkan jatah listrik.
It's sooo common.
Jangankan yang di Pulau terpencil seperti itu, yang di pulau besar seperti Pulau Jawa saja ada kok.
Padahal, menurut pendapatku listrik juga merupakan salah satu kebutuhan sangat pokok untuk manusia modern. Walaupun dirumah tidak ada kulkas, televisi, mesin cuci, listrik tetap penting untuk menyalakan lampu. Guna membuat nyaman dan membantu menolong kegiatan belajar anak-anak.

Balik lagi ke Pulau Pempin. Sebenarnya tidak ada hambatan untuk membuat pulau itu terang seperti kota-kota lainnya. Pulau itu bahkan memiliki sumber listrikyang luar biasa besar ditanah mereka sendiri! Tepat di Pempin, Negara dan pemerintah membangun perusahan gas yang merupakan sumber tenaga listrik, pipa-pipanya pun terkubur di halaman mereka. Tapi, kemana daya itu mengalir?
Jelas bukan ke ruang-ruang tamu atau kamar-kamar dimana anak-anak Indonesia membuka buku pelajaran, melainkan ke pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan disana. Surga belanja para tante-tante dan muda-mudi Indonesia yang kelebihan duit dan tak tahu mau dihabiskan untuk apa lagi. Singapore.

Ironis.
Tragis.

Ketika sebagian saudara kita tergelap-gelap malamnya, setelah pagi hari menjual murah tanah kepada pemerintah untuk dibangun PLTG. Sebagian yang lain sibuk di Orchid Road, menenteng tas-tas belanja.

Menyedihkan ya, tapi memang begitulah keadaannya. Hidup memang tidak selamanya sewarna dan seimbang. Bukan salah orang-orang berduit juga kalau mereka ingin jalan-jalan ke negara tetangga kan? Dan mungkin saja mereka memang tidak tahu ada saudaranya yang masih hidup dalam kegelapan.
Dan, sebenarnya kepada siapa juga sih aku marah-marah? Pemerintah? Negara? Tidak usah dijawab. Kita masing-masing sudah pasti paham.
Mungkin sebenarnya aku bongko pada diriku sendiri yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu. Kesal pada rasa marah yang sia-sia ini. Aku teriak pun percuma kan? Siapa yang mau dengar? Siapa yang sanggup dengan segera menancapkan tiang-tiang listrik disana? NO one.

Rasa bongko ini sama ketika aku melihat banyak tayangan televisi tentang tingkat kemiskinan di suatu daerah YYY, busung lapar di desa XXX, atau kurangnya fasilitas pendidikan di provinsi ZZZ. Inilah rasa bongko yang lama-lama mengendap menjadi benci lalu menimbulkan pesimis dipemikiranku bahwa negaraku tidak akan pernah bisa maju.

Sebenarnya ini bahaya.

Karena ketika aku terus-terusan bongko mendengar berita-berita negatif itu, lalu menjadi benci, dan secara tidak sadar timbul rasa pesimis maka itulah saatnya aku tidak punya rasa nasionalisme sama sekali. Dan kalau aku yang merupakan *ehem* generasi muda penerus bangsa tidak punya rasa nasionalisme. Lalu, mau jadi apa negaraku kelak?

Jadi, ditengah-tengah kebongkoanku ini sejujurnya aku berpikir bagaimana caranya agar rasa kesal kepada negara tidak menjadikanku orang pesimis dan masa bodoh dengan apa yang sedang terjadi dibawah hidungku sendiri.
Dan, kemudian aku bingung sendiri. Kenapa aku jadi galau seperti ini?
Bukannya aku bisa saja terus menjadi pesimis, tidak nasionalis, bergaya necis ala2 orang luar, walaupun hidup, belajar, dan bekerja mengeruk uang dari negara ini? Toh tidak ada yang peduli juga kan? Kenapa ribut memikirkan akan jadi apa negaraku kelak?

And then, Light blub.

Oia, sebenarnya bukan untuk negara secara literal tapi untuk saudara-saudara kita sebangsa yang sama-sama manusia dengan hak yang tidak berbeda. Untuk merekalah, kenapa optimisme kepada negara itu harus ada. Jangan pernah menjadi masa bodoh mau enaknya sendiri, hidup di negara ini mengambil yang ada tapi tidak mau berbagi dengan sesama. Mungkin tidak akan berpengaruh apa-apa untuk kuantitas hidup kita, tapi jelas hidup kita disisi lain akan menjadi sangat tidak berkualitas. And you can be a very very bad bad girl, eh, human in this world. *sory, keingetan dialognya beyonce ma lady gaga*

May be you can't catch the meaning of my write easily because i'm not a good writer. Okeh, I'll make it simple.
Mengapa kita harus optimis agar nasionalisme kita tidak luntur?
Jawabannya: Untuk kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika kita cinta Indonesia, kita akan mencintai sesama bangsa. Dengan mencintai kita bisa berbagi kebahagiaan dengan mudah. Dan dengan berbagi, hidup kita akan berkualitas. Dan apa yang akan terjadi setelah hidup menjadi berkualitas? It depends on each man. Just it.


Lalu, PR selanjutnya: Bagaimana caranya kita bisa mencintai negara ini??

Hahah. Just kid..

Now, prepare your backpack. Starting from Jogja, or somewhere you like most in Indonesia, look around, try everything there. And yeah, I bet you can easily fall in love with this country.

Budaya kita luar biasa. :)

Stay positive keep us alive.

salaam.

Indonesia memang warna-warni.